8.12.07

Pengomposan Sampah


Sampah


Sampah (refuse) adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (Azwar, 1990). Sumber sampah bisa bermacam-macam, diantaranya adalah : dari rumah tangga, pasar, warung, kantor, bangunan umum, industri, dan jalan.
Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat. Peningkatan aktivitas manusia, lebih lanjut menyebabkan bertambahnya sampah. Faktor yang mempengaruhi jumlah sampah selain aktivitas penduduk antara lain adalah jumlah atau kepadatan penduduk, sistem pengelolaan sampah, keadaan geografi, musim dan waktu, kebiasaan penduduk, teknologi serta tingkat sosial ekonomi (Depkes RI, 1987).
Berdasarkan komposisi kimianya, maka sampah dibagi menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Penelitian mengenai sampah padat di Indonesia menunjukkan bahwa 80% merupakan sampah organik, dan diperkirakan 78% dari sampah tersebut dapat digunakan kembali (Outerbridge, ed., 1991). Menurut Murtadho dan Said (1987), sampah organik di bedakan menjadi sampah organik yang mudah membusuk (misal: sisa makanan, sampah sayuran dan kulit buah) dan sampah organic yang tidak mudah membusuk (misal : plastik dan kertas).


Teknologi Pengomposan (composting)


Salah satu teknologi yang dilakukan untuk pengolahan sampah adalah teknologi pengomposan. Pengomposan adalah dekomposisi alami dari bahan organik oleh mikroorganisme yang memerlukan oksigen (aerob). Hasil pengomposan berupa kompos memiliki muatan negatif, dapat dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk agregat tanah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat memperbaiki struktur tanah sehingga akan memperbaiki pula aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah (Gaur, 1981).
Pengomposan dapat didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dari bahan organik sampah di bawah kondisi-kondisi terkontrol. Gaur (1981) menyatakan bahwa pengomposan adalah suatu proses biokimia, di mana bahan-bahan organic didekomposisi menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok mikroorganisme campuran dan berbeda-beda pada kondisi yang dikontrol. Hasil dari pengomposan dikenal dengan nama kompos. Dalam banyak buku pertanian kompos didefinisikan sebagai campuran pupuk dari bahan organic yang berasal dari tanaman atau hewan atau campuran keduanya yang telah melapuk sebagian dan dapat berisi senyawa-senyawa lain seperti abu, kapur dan bahan kimia lainnya sebagai bahan tambahan. Kompos merupakan inti dan dasar terpenting dari berkebun dan bertani secara alami, serta merupakan jantung dari konsep pertanian organik (Djajakirana, 2002). Berbeda dengan proses pengolahan sampah yang lainnya, maka pada proses pembuatan kompos baik bahan baku, tempat pembuatan maupun cara pembuatan dapat dilakukan oleh siapapun dan dimanapun. Kompos dapat digunakan untuk tanaman hias, tanaman sayuran, tanaman buah-buahan maupun tanaman padi disawah. Bahkan hanya dengan ditaburkan diatas permukaan tanah, maka sifat-sifat tanah tersebut dapat diperta hankan atau dapat ditingkatkan. Apalagi untuk kondisi tanah yang baru dibuka, biasanya tanah yang baru dibuka maka kesuburan tanah akan menurun. Oleh karena itu, untuk mengembalikan atau mempercepat kesuburannya maka tanah tersebut harus ditambahkan kompos .


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Composting


Menurut Unus (2002) banyak faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kompos, baik biotik maupun abiotik. Faktor –faktor tersebut antara lain

  1. Pemisahan bahan : bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar untuk didegradasi/diurai, harus dipisahkan/diduakan, baik yang berbentuk logam, batu, maupun plastik. Bahkan, bahan-bahan tertentu yang bersifat toksik serta dapat menghambat pertumbuhan mikroba, harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan, misalnya residu pestisida.
  2. Bentuk bahan : semakin kecil dan homogen bentuk bahan, semakin cepat dan baik pula proses pengomposan. Karena dengan bentuk bahan yang lebih kecil dan homagen, lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba. Selain itu, bentuk bahan berpengaruh pula terhadap kelancaran difusi oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO 2 yang dihasilkan
Nutrien : untuk aktivitas mikroba di dalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrien Karbohidrat, misalnya antara 20% - 40% yang digunakan akan diasimilasikan menjadi komponen sel dan CO2, kalau bandingan sumber nitrogen dan sumber Karbohidrat yang terdapat di dalamnya (C/N-resio) = 10 : 1. Untuk proses pengomposa nilai optimum adalah 25 : 1, sedangkan maksimum 10 : 1 .
Kadar air bahan tergantung kepada bentuk dan jenis bahan, misalnya, kadar air optimum di dalam pengomposan bernilai antara 50 – 70, terutama selama proses fasa pertama. Kadang-kadang dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bisa bernilai sampai 85%, misalnya pada jerami.Disamping persyaratan di atas, mas ih diperlukan pula persyaratan lain yang pada pokoknya bertujuan untuk mempercepat proses serta menghasilkan kompos dengan nilai yang baik, antara lain, homogenitas (pengerjaan yang dilakukan agar bahan yang dikomposkan selalu dalam keadaan homogen), aerasi (suplai oksigen yang baik agar proses dekomposisi untuk bahan -bahan yang memerlukan), dan penambahan starter (preparat mikroba) kompos dapat pula dilakukan, misalnya untuk jerami. Agar proses pengomposan bisa berjalan secara optimum maka kondisi saat proses harus diperhatikan.


Bahan Baku Kompos Sampah


Proses pengomposan atau membuat kompos adalah proses biologis karena selama proses tersebut berlangsung, sejumlah jasad hidup yang disebut mikroba, seperti bakteri dan jamur, berperan aktif (Unus, 2002). Agar peranan mikroba di dalam pengolahan bahan baku menjadi kompos berjalan secara baik, persyaratan-persyaratan berikut harus dipenuhi :

a. Kadar air bahan baku : daun-daun yang masih segar atau tidak kering, kadar airnya memenuhi syarat sebagai bahan baku. Dengan begitu, daun yang sudah kering, yang kadar airnya juga akan berkurang, tidak memenuhi syarat. Hal tersebut harus diperhatikan karena banyak pengaruhnya terhadap kegiatan mikroba dalam mengolah bahan baku menjadi kompos. Seandainya sudah kering, bahan baku tersebut harus diberi air secukupnya agar menjadi lembab.

b. Perbandingan sumber C (Karbon) dengan N (zat lemas) yang disebut rasio/bandingan C/N, dengan perbandingan tersebut proses pengomposan berjalan baik dengan menghasilkan kompos bernilai baik pula, paling tinggi 30, yang artinya kandungan sumber C berbanding dengan kandungan sumber = 30 : 1. Sebagai contoh, kalau menggunakan jerami sebagai bahan baku kompos, nilai rasio C/N-nya berkisar 15 – 25, jadi terlalu rendah. Karena itu, bahan ba ku tersebut harus dicampur dengan benar agar nilai rasio C/N-nya berkisar 30. Misalnya, lima bagian sampah yang terdiri atas daun -daunan dari pekarangan dicampur dengan dua bagian ko toran kandang, akan mencapai nilai rasio C/N mendekati 30, atau lima bagian.

Tempat Pengomposan

Tempat pengomposan tergantung kondisi serta luas lahan (pekarangan rumah) yang dapat disiapkan untuk pembuatan kompos. (Wied, 2004). Dengan demikian, bentuk tempat pengomposan dapat bermacam-macam, antara lain :

  1. Berbentuk lubang dengan ukuran 100 x 75 x 50 cm atau 2,5 x 1 x 1 m (panjang, lebar, dan tinggi), bisa lebih, bisa juga kurang, tergantung kepada lahan yang dapat digunakan sebagai tempat pembuatan kompos, serta bahan baku yang akan dibuat atau diproses. Bentuk lubang mudah dibuat . Selain itu, setiap bahan baku yang akan dimasukkan hanya tinggal dijatuhkan ke dalamnya. Namun, kejelekan dari tempat berbentuk lubang ini ialah kalau musim hujan akan tergenang air sehingga proses pengomposan akan terhambat. Tambahan pula, bahan sukar untuk dicampurkan sampai merata.
  2. Berbentuk bak, baik dengan dinding yang terbuat dari batu bata (tembok), dari bambu, dari kayu ataupun dari bahan-bahan lainnya. Kebaikan dari tempat ini ialah mudah untuk mencampurkan bahan, tidak tergenang air di musim hujan. Adapun kejelekannya, memerlukan biaya yang cukup mahal untuk membuat dinding.
  3. Pada permukaan tanah saja, artinya timbunan bahan baku langsung ditempatkan pada permukaan tanah tanpa lubang atau dinding. Dengan cara ini pencampuran bahan baku agar rata mudah dilakukan. Selain itu, tidak tergenang air, tetapi sangat mudah diganggu oleh binatang, misalnya ayam, atau binatang lain, seperti tikus dan celurut yang senan g berdiam pada timbunan sampah.

Fungsi Kompos

Müller-Sämann dan Kotschi (1997) menyimpulkan empat fungsi penting kompos, yaitu:

a. Fungsi nutrisi, nutrisi yang disimpan diubah menjadi bahan organik, jaringan mikroorganisme, produk sisanya, dan humus. Kompos adalah pupuk yang lambat tersedia (slow release), hara yang dihasilkan tergantung pada bahan dasar dan metode pengomposan yang digunakan.

b. Meningkatkan struktur tanah, yaitu melalui peningkatan persentase bahan organik yang meningkatkan stuktur tanah.

c. Meningkatkan populasi dan aktivitas organisme tanah. Kompos juga meningkatkan kemampuan mengikat air dan agregat tanah, meningkatkan infiltrasi, menghalangi terjadinya erosi dan menunjang penyebaran dan penetrasi akar tanaman.

d. Memperkuat daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk kompos lebih tahan terhadap hama dibandingkan tanaman yang tidak diberi kompos maupun yang tidak dipupuk.
Selama pengomposan, bahan-bahan organik didekomposisi terlebih dahulu menjadi bentuk-bentuk anorganiknya. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengomposan adalah kadar air, suplai oksigen, suhu dan pH. Kadar air (kelembaban) diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dekomposisi aerob dapat terjadi pada kadar air bahan 30-60%, asalkan dilakukan pembalikan pada bahan yang dikomposkan. Kadar air yang optimal adalah 50- 60%. Kadar air yang berlebihan dapat menurunkan suhu dalam gundukan bahanbahan yang dikomposkan, karena menghambat aliran oksigen serta dihasilkannya bau. Suplai oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme aerobik adalah 5-15% dari udara yang dibutuhkan atau di atas 5% dari volume gundukan. Oksigen dibutuhkan untuk mendekomposisi limbah organik yang dikomposkan. Menurut Obeng dan Wright (1987) konsumsi oksigen yang diperlukan oleh proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

  1. Tahap dalam pengomposan
  2. Suhu
  3. Tahap dekomposisi bahan
  4. Komposisi bahan yang dikomposkan
  5. Ukuran partikel, dan
  6. Kandungan air.
Konsumsi oksigen nampak bervariasi (meningkat dan menurun) secara logaritmik dengan perubahan suhu. Kematangan kompos yang digunakan juga menjadi faktor yang mempengaruhi cepat aplikasinya ke tanaman. Kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Gaur (1981) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos, yaitu:

  1. Karakteristik fisik, seperti suhu, warna, tekstur dan besarnya kelarutan dalam larutan natrium hidroksida atau natrium fosfat
  2. Nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman
  3. Tidak berbau dan bebas dari patogen parasit dan biji rumput-rumputan

Kematangan kompos menurut Harada et al. (1993) sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang sudah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kandungan kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan tanaman. Oleh sebab itu, kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan
kelayakan mutu kompos.

No comments: