2.5.08

HMI dengan dan Tanpa Huruf i

-Kotempolasi tema LK-1: “Rekonstruksi Kultur Kader HMI Yang Mempunyai Solidaritas Keumatan dan Keindonesiaan.”-

Kata sakti:
“Mana kala nilai hidup ini hanya untuk diri kita, maka akan tampak bagi kita bahwa kehidupan kecil dan singkat. Tetapi apabila kita hidup juga untuk orang lain maka jadikanlah hidup ini bermakana panjang dan dalam.” (Sayyid Quthub, Afraah Ar-Ruuh, hlm. 9)

Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI adalah organisasi berbasis mahasiswa terbesar di Indonesia yang didirikan di Yogyakarta pada 5 Februari 1947 oleh Lapran Pane {1922-1991}dan beberapa mahasiswa tingkat satu Sekolah Tinggi Islam {STI} {Agus Salim Sitompul, 1995:1}. Maka seacara hitungan matematis tepat pada 5 Februari 2007 lalu HMI sudah menginjak usia 60 tahun (masehi). Suatu usia yang cukup berumur, dengan torehan tinta sejarah yang beragam dan kompleks. Bila dianalogikan sebagai sebuah bangunan, HMI hari ini tak ubahnya seperti bangunan tua yang bersejarah –bahkan mungkin dikeramatkan. Namun yang membedakan adalah –rasa syukur kita- bahwa HMI hari ini masih bisa disebut “layak tinggak dan pakai” di bandingkan analogi sebuah bangunan tua yang umumnya sering tak terurus dan menjadi tak produktif.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana agar HMI eksis dan bertahan tak terbatas ruang dan waktu. LK-1 {basic training} adalah salah satu jawabanya. LK-1 bisa dikatakan adalah jantung HMI. Hal ini merupakan konsekuensi logis HMI sebagai organisasi pengkaderan. Hidup dan matinya pergerakan HMI ditentukan oleh “ada dan tidak adanya” LK-1. Dan hari ini HMI Komisarita Dakwah dan Komunikasi sebagai upaya eksistensi dan “memperlambat” musnahnya HMI di muka bumi ini berupaya mengadakan LK-1.

Pada tulisan ini, penulis hanya “ingin” sedikit berbagi pemahaman tentang tema LK-1 kali ini. Ini menjadi tanggung jawab saya dan kawan-kawan SC untuk berupaya meniya-sekatakan dari seluruh tataran panitia baik SC steering Comite dan OC Organizing comite agar LK-1 yang kita jalankan hari ini akan lebih jelas sasaran dan target yang akan dicapai pada peserta. Adapun tema LK-1 yaitu "Rekonstruksi Kultur Kader HMI Yang Mempunyai Solidaritas Keumatan dan Keindonesiaan".
Maha{siswa} kaya title.

Tak terbantahkan lagi yang mengatakan bahwa mahasiswa merupakan entitas penting dalam berbagai macam momen dan peristiwa yang terjadi. Berbagai peristriwa heroic, penuh perjuangan senantiasa menghadirkan sosok mahasiswa sebagai bagian dari unsur terpenting. Oleh karenanya setumpuk predikat filosofis pun dikalungkan buat mahasiswa; mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), kekuatan moral (moral force), cadangan potensial (iron stock). Namun saat ini berjuta titel itu seperti hanya ungkapan romantisme belaka, disebabkan semakin terkikis dan tersingkirkan oleh ism-isme “asing” yang notabenenya negative. Seperti liberaliasai, kapitalisme, demokrasi, pragmatisme, komersialisme, hedonisme, dll. Hal ini tak terkecuali yang dialami HMI sebagai wadah dan himpunan mahasiswa-mahasiswa Islam {Indonesia}.

Ada kultur yang –kalau bisa dibilang telah- seakan hilang pada setiap kader HMI hari ini. Mental pemalas, skeptis, apatis, mudah menyerah dan hedonis seperti telah menghinggapi setiap hati nurani kader pada akhirnya hati nurani mereka tumpul pada realitas social yang ada disekitarnya. Dan Lapran Pane pun menangis. –upaya menyatukan Jembatan Dasein – Dasollen-

Pada awal pendirian HMI, Lapran pane dkk dalam Kongres HMI Ke—1 menetapkan tujuan HMI adalah untuk mempertegak dan mengembangkan agama Islam dan mempertinggi derajat rakyat dan NKRI {Lihat Historiografi HMI Tahun 1947-1993:13}. Namun perjalanan waktu juga menjawab, HMI hari ini seolah apa yang dicita-citakan oleh empunya sudah tergeser pada kepetingan-kepentingan yang pragmatis.

HMI dengan tanpa huruf “i” pada tulisan ini adalah bagaimana upaya HMI kembali ke khitah awal pendirian HMI. HMI dengan “titel” islam harus beruapaya dengan sungguh-sungguh memperjuangkan tegaknya islam di bumi nusantara. Dalam benak penulis jika HMI hari ini tidak ada upaya untuk {r}evolusi pada khitahnya, sebaik HMI hadir dengan wajah baru saja yaitu Himpunan Mahasiswa “Indonesia”. Sebab pada dasarnya islam sebagaimana yang didekralasikan Empunya pada Q.S. Al-Maidah ayat 10 adalah sebuah agama yang sempurna diatas segalanya sebagai jalan dan satu-satunya agama pilihan tuhan yang diridhai disisnya Namun saying kita sering menemukan kontradiksi yang paling kurang ajar pada kenyataannya Antara Islam sebagai ajaran yang sempurna {Da sein}. dan realitas social yang terjadi {Dasolles}. Lihat saja, realitas tak pernah hadir dalam wajah yang dusta, betapa organisasi yang notebene-nya islam {ini bisa diartikan dengan organisasi yang memakai title islam dan organisasi yang tidak tapi atas nama islam} hadir dengan wajah “tak Islami”.

Dalam perenungan penulis, andai saja Lapran Pane sekarang masih hidup tentu ia akan menangis dengan keadaan HMI saat ini. HMi tak ubahnya –oleh sebagian orang- hanya dijadikan sebagai kedaraan politik atau embel-embel lain diatas kepentingan pribadi dan kelompok.

Fokus Tema LK
Sebagaimana paparan diatas, maka perlu adanya upaya membangun kembali rekonstruksi} “bangunan” HMI yang akan –telah- roboh dan tidak punya pijakan kuat terhadap islam, yang pada akhirnya menyebabkan kader HMI kehilangan kultur yang selalu melekat pada para pendahulu HMI yaitu kader HMI sebagai insane cita, insane akademis, bernafaskan Islam dan mempunyai tanggung jawab social untuk terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridhai oleh Allah Swt.

Khusus untuk kultur yang disebutkan terakhir mempunyai focus dan perhatian yang lebih pada LK kali ini, hal ini terwujud pada kalimat tema LK Rekonstruksi Kultur Kader HMI Yang Mempunyai Solidaritas. Lalu setelah itu adalah bagaimana agar sasaran solidaritas setiap kader HMI yang terejawantahkan dalam kultur mampu menjawab tantangan keumatan, yang dalam konteks ini umat islam sebagai ummatu dakwah dan juga memberikan satu piliahan jalan terbaik bagi masyarakat dalam menempuh hidup dalam lingkup keindonesiaan Ummatu Ijabah.

Pada Akhirnya tema LK kali ini adalah harapan agar kader-kader HMI lebih peduli pada masalah keumatan dan Keindonesiaa.
Sebuah Sentuhan Akhir; Wejangan ti Abah.
Jauh dari paparan tema saya diatas, yang paling penting adalah bagaimana membangun pergerakan bermula “dari dalam ke luar” {meminjam istilah Stephen R Covey, 1997:3}. Kesolidan, kesolidaritasan, kekompakan, tanggungjawab semua harus dibangun dari dalam dulu {internal}. Bagaimana mau cuap-cuap ke kader untuk solidaritas tapi panitia sendiri belum benar solid{er}.

Hari ini mari kita bangun kultur yang seperti dicitakan dalam tema LK kita ini. Setiap panitia harus mempunyai kesadaran, karena pada akhirnya –seperti yang saya katakana berulang-ulang pada setiap rapat- adalah komitmen dan pengorbanan. Artinya harus ada komitmen untuk berkorban dan berkorban untuk berkomitmen.

Apa yang kawan-kawan lakukan hari ini adalah sebuah proses pembelajaran dan pedewasaan, saya harap setiap panitia tertanam rasa tanggungjawab. Pada dasarnya rasa tanggung jawab hadir mana kala sudah tumbuh rasa memiliki, dan rasa memiliki tumbuh saat kepedulian, kecintaan satu sama lain dari anggota tertanam. Penulis rindu sekali suasana Baksos di Cililin kemarin, satu sama lain terbangun kebersamaan. Sedih, senang, kesel, bungah, rungsing, riweuh kita rasakan bersama-sama, sampai-sampai ketua OC LK sekarang aja sempat nangis tersendu-sendu dengan konflik cintanya, lalu pada saat itu kita tidak diam kan? Kita bersama bercanda menghibur dan berbagi bersamanya {walaupun sedikit moyok}. Ya, penulis kangen suasana itu. Dan hari ini suasana LK –sejatinya- sama harus dibangun kebersamaan itu, saling memiliki, saling berbagi, berkerja sama-sama.

Namun hal itu jangan sampai mengikis profesional kita dalam kepanitiaan. Saya harapkan setiap panitia sadar dan mempunyai tanggungjawab terhadap posisi masing-masing. Ketua SC dan anggota-anggota harus berupaya mengarahkan para OC dalam berkerja, sejatinya ketua SC dan anggota mempunyai tanggungjawab lebih besar dalam terselenggaranya LK ini baik konsep atau teknis dilapangan.
Ini pembelajaran bagi kita semua memang dalam bekerja kita tidak mengenal SC atau OC, tapi untuk pembelajaran dan pendewasaan adalah bagaimana dibangun kultur professional dan tanggungjawab. Ketua SC bertanggungjawab dan belajar menjadi ketua SC yang baik begitu juga Ketua OC berupaya mengayom para anggotanya untuk menjadi ketua OC yang lebih baik.

Sebab pada akhirnya adalah estafet perjuangan, kalau hari ini tidak beres atau bahasa Jermannamah pabaluit, gimana esok hari jika yang tua-tua kaya abah ini {jadi sedih:{ sudah gak ada pasti yang duduk di OC sekarang ini yang menggantikan dan meneruskan menjadi SC. Singkat kata ini adalah wahana belajar bersama, kita tidak ada istilah –meminjam istilah erot- seniohhh atau junior. Sebab dalam organisasi yang harus dibangun adalah propesionalitas dan proposional.

Terakhir, kata sakti pada halaman awal, bisa menjadi perenungan bersama. Sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain. Itu saja. Maaf jika terlalu menggurui, saya bukan guru kalian, tapi kalian guru saya. Saya belajar banyak dari proses ini, belajar banyak dari setiap masalah yang kita hadapi bersama.
Terakhir {kmh, diluhur terakhir, ayeuna terakhir} untuk mengobarkan semangat kawan-kawan. Winston Chuchill pada waktu Perang Dunia ke-2 dalam menghadapi Jerman berkata kepada tentaranya “I have nothing, but what I have, I will give. I have blood, tears, toils dab sweat” (saya tidak memiliki apa-apa, tetapi apa yang saya miliki, akan saya berikan. Saya memiliki darah, kerja keras dan keringat).

Hasbiyallahu ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’ma nashir. YAKUSA

1 comment:

Anonymous said...

Sekali islam ya tetap islam...